BUKAN DONGENG PALESTINA

Oleh : Fitri De Coresa

Palestina

Desiran angin malam itu berhasil mengibaskan jubah ayah yang sedang berdiri dengan menyilangkan kedua lengan tangannya. Posisinya hanya menjadikan punggungnya sebagai pemandanganku, menceritakanku sebuah dongeng yang amat-sangat fasih mengundang air mataku setiap kali ayah bercerita.

Malam itu Ahad. Yah Ahad, sebab ayah pernah bilang bahwa semua nama-nama hari berasal dari bahasa Arab, Itsnain, Tsalasa, Arba’, Khamzah, Tsaba’ah, kecuali hari Minggu. Entah dari mana asal kata itu. Kalau kata ayah itu berasal dari kata Yahudi. Entahlah. Berangkat dari nama-nama hari tadi, aku selalu saja bahagia setiap malam Ahad datang sebab di waktu itulah ayah akan melanjutkan cerita dongengnya.

“Perang senjata oleh tentara Israel sudah berapa kali melukai penduduk di Palestina. Pertumpahan darah seperti pemandangan biasa.” Begitu ayah menggambarkan dongengnya.

  “Ayah… kata temanku, tentara Israel itu punya banyak senjata. Katanya, mereka kuat. Wah, aku juga ingin punya senjata dan kuat seperti mereka.” Tukasku sambil memainkan pistol air yang ada di tanganku. Wajah ayah berubah. Sedikit memerah. Tangannya mengepal.

“Ayah… ayah… wajah ayah kenapa memerah? Habis makan cabai yah? Hehehe” lanjutku tertawa.
“Syahid, kamu tidak usah seperti mereka. Kamu boleh punya banyak senjata tapi untuk digunakan di jalan Allah, memperjuangkan kaum muslimin.”

Umurku 12 tahun, tapi ayah membekaliku semangat membela kaum muslimin begitu banyak. Angin semakin lincah saja malam itu, jubah hadiah dari ayah yang sedang kukenakan juga ikut terkibas bak ombak bergelombang. Ayah memang selalu saja mengubah penampilanku persis dengan penampilannya, memakai jubah dan kain di kepala. Satu lagi, ayah tidak pernah terpisah dari senjatanya, aku pun begitu. Tapi senjataku kalah besar, milikku berwarna biru dengan kombinasi merah, hanya bisa mengeluarkan air. Aku pernah bertanya kenapa ayah selalu saja membawa senjata? Suatu saat nanti jika tentara Israel datang, ayah akan melawan mereka dengan senjata ini untuk melindungi kamu nak. Begitu penjelasannya yang sering kali terngiang-ngiang di pikiranku. Sesekali aku bingung, memangnya tokoh dalam suatu dongeng itu bisa ada di kehidupan nyata yah?

***

“Syahid, ayah menyayangimu. Ingat pesan ayah, jadilah pembela kaum muslimin ketika tentara Israel datang. Selamatkan tanah ini.” Wajah ayah basah. Kain jubahnya ditarik untuk mengeringkan wajahnya.

Suasana malam itu hening. Beberapa menit tak ada suara. Ayah menyembunyikan wajahnya, tak ingin ketahuan bahwa ia sedang menangis. “Nak, tanah ini namanya tanah syuhada. Di sinilah banyak pejuang-pejuang Islam yang gugur dalam jihad.” Suaranya terbatah-batah dan tersendat-sendat. Aku tau ayah sedang merasakan luka yang sangat dalam. Entah kenapa, malam itu ayah belum melanjutkan dongengnya. Ia hanya bercerita tentang jihad.

Aku menunduk. Air mataku mulai jatuh. Kesedihanku malam itu terasa sama setiap ayah berdongeng.

“Nak, zionis dari Israel selalu saja ingin menguasai wilayah Palestina. Mereka tidak segan-segan membunuh, anak kecil tak berdosa pun mereka emban.” Tiba-tiba kembali ke dongengnya. Menghela napas sejenak lalu menajutkannya. “
…………….. (hening sekian detik)

“Bruk... flakkk... doorrr” Ya Allah, “Ayaaaaaaaaahhhhhh” dunia berubah seketika. Hancur lebur. Porak poranda. Puluhan orang berseragam hitam persis dalam dongeng ayah datang menyerang. Senjatanya diarahkan kepada siapa saja. Ayahku korban pertama. Segera kutarik senjata di tangan ayah. Kukumpulkan tenaga, kutembakkan peluru kepada tentara-tentara itu, tak hanya berfokus ke satu arah. “Allahu Akbar!!!” kukeraskan takbir.

….”Doorr!!!”…. 

“A…a…a…ayah” tubuhku benar-benar lunglai. Kulihat ayah menjulurkan tangannya ke arahku. Segera kuraih, kupeluk ia erat-erat. Sekujur tubuhku berubah warna, merah.

“Sya…hid, a..ayah mau bilang, inilah dongeng ayah se..lama ini. Se..muaaa..nya nyata nak. Ja..dilah penolong bagi tanah ki…ta. Pa…lesti…na, taaanaaah syuhada.” 

“Tidaaaak! Ayaaaaaaaah!!” cerita dongeng ayah telah berakhir seumur dengan usia ayah. Semua manjadi nyata.

***

“Syahid? Bangun nak.”
“Ibu???” pandanganku kabur.
“Nak, kamu terlalu keasikan tertidur.” Ibu menyela-nyela rambutku.
“Ibu, aku memimpikan almarhum ayah.” Pipiku basah.

Makassar, 8 Februari 2016

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

- Berikan komentar yang mendidik dan membangun
- Kami harapkan saran dan kritikan yang baik untuk menambah kualitas artikel
- Berikan komentar yang sopan tidang mengandung unsur Porno dan SARA
- Jangan meninggalkan Link Aktif

Terimakasih atas Kepercayaannya